Tuesday, May 27, 2025

Mengeluh: Pergolakan Batin – Lelah

Cover Mengeluh : Pergolakan Batin - Lelah

[Pagi – Tidak ke Sekolah]

Hari itu, Ayla merasa tubuhnya benar-benar lelah. Setelah semalam menyelesaikan tulisan hingga pukul setengah sebelas malam, ia baru bisa tidur sekitar setengah dua belas. Begitu pagi datang, tubuhnya seperti menolak untuk bangun. Rasanya berat sekali untuk beranjak dari tempat tidur.
Sejak awal, ia sudah bisa membayangkan betapa melelahkannya hari ini—karena ia tahu, kelas hari Selasa dan Rabu biasanya lebih aktif dari hari lainnya. Ditambah lagi ia seharusnya ke sekolah dulu pagi ini. Tapi pertanyaannya terus bergema di kepalanya: kenapa ia harus mengajar? Kenapa harus jadi guru?
Dengan langkah lemas, Ayla turun untuk sholat subuh dan sarapan. Di tengah sarapan, ia akhirnya memutuskan untuk bilang ke mama kalau hari ini ia tidak ingin ke sekolah. Alasannya? Karena semalam ia begadang menulis. Ia tidak ingin kehilangan rutinitas menulisnya—satu-satunya hal yang membuatnya merasa bebas, meski hanya sebentar. Menulis adalah ruang pelarian terbaiknya dari dunia nyata yang melelahkan.
Awalnya mama sempat menanyai kenapa semalam tidur malam, dan Ayla hanya menjawab dengan jujur, “Aku nulis.” Jawaban itu seolah memotong seluruh pertanyaan lanjutan, karena memang sebelumnya mama yang mengatakan "kalau mau lakuin hobi kan bisa sepulang kerja? Bisa dilakuin malam hari?"
Maka Ayla pun memutuskan: kalau pagi ini harus melepas kegiatan yang tidak ia nikmati, maka ia memilih menulis di malam sebelumnya.
Setelah makan, Ayla kembali ke kamar dan tidur lagi. Ia tak peduli dengan saran "jangan tidur habis makan." Saat itu, yang ia butuhkan hanya satu: istirahat.

[Bimbel – Insiden di Kelas]

Pukul sembilan pagi, Ayla baru terbangun lagi. Sebenarnya, dalam hatinya ia juga ingin absen dari bimbel, tapi ia tahu mama pasti bertanya. Dan di bimbel, ia punya tanggung jawab. Kelas dari jam satu sampai lima sore. Maka, dengan berat hati, ia mandi dan bersiap.
Setibanya di bimbel, murid pertama yang datang adalah Erika. Ayla mulai menyiapkan semua perlengkapan mengajar. Pukul 13.00, seluruh murid kelas pertama—Erika, Emy, dan Hasna—sudah hadir. Kelas dimulai.
Namun tidak lama, terjadi insiden. Erika terjatuh dan tangannya keseleo. Ia menangis karena tangannya terasa sakit dan tidak bisa diluruskan. Ayla segera menelepon ibu Erika dan menyampaikan kondisi anaknya. Saat ibunya datang, Ayla menjelaskan kronologi kejadian dan meminta maaf karena sempat lengah. Untungnya, ibu Erika bisa memahami, karena kejadian itu murni disebabkan anak-anak yang aktif bergerak, bukan karena kelalaian dalam pengawasan.

[Pelajaran Kedua – Keempat]

Pelajaran kedua adalah Bahasa Inggris. Muridnya: Kevin, Ardy, Hasna, dan Rafly. Kelas berjalan cukup ramai karena anak-anak itu tergolong aktif. Tapi untungnya tidak ada yang bertengkar seperti biasanya—khususnya Kevin dan Ardy yang sering berselisih tapi hari itu kondisinya aman terkendali.
Pelajaran ketiga masih pelajaran berhitung. Kali ini muridnya hanya dua orang, dan keduanya perempuan: suasana kelas otomatis jadi jauh lebih tenang.
Lalu masuk ke pelajaran keempat, yang merupakan kelas bimbel Bahasa Indonesia untuk Yuni. Hari itu hanya ada Yuni, karena memang kelas tersebut memang hanya untuk dia. Dan akhirnya, Ayla bisa sedikit menarik napas panjang.
Yuni adalah murid yang sangat dekat dengan Ayla. Mereka sering bercanda dan ngobrol seperti teman, padahal jarak usia mereka cukup jauh. Tapi karena hobi dan cara pikir yang hampir mirip, hubungan mereka lebih seperti sahabat. Hari itu mereka belajar pantun—teori, aturan, dan contoh-contoh pantun dibahas Ayla di papan tulis. Yuni menyimak dengan serius, dan sesekali mereka tertawa saat membuat pantun lucu.

[Pulang]

Pukul 17.00, kegiatan di bimbel pun selesai. Yuni berpamitan pulang. Ayla yang sejak tadi sudah mulai membereskan ruang kelas, mematikan AC dan lampu, lalu turun ke bawah. Di lantai satu, Kak Vio dan Kak Dita sudah siap pulang. Mereka pun saling berpamitan dan kembali ke rumah masing-masing.

[Pergolakan Batin]

Sesampainya di rumah, Ayla langsung merebahkan diri di kasur. Ia membuka laptop dan mulai menulis—seperti biasa, menuliskan perasaan adalah bentuk pelarian paling jujur baginya.
Hari itu sebenarnya tidak buruk. Tapi ada pergolakan batin yang diam-diam muncul lagi. Suara dalam dirinya berbisik, “Aku ingin lepas dari rutinitas mengajar ini.”
Sampai kapan orang tuanya akan memahami bahwa dunia pendidikan bukanlah dunianya? Kapan mereka akan melihat bahwa ada hal lain yang ingin ia dalami, yang benar-benar ia sukai?
Hari-harinya penuh dengan anak-anak yang energinya tak terbendung. Ia sudah berusaha sebaik mungkin, tapi kadang hasilnya membuatnya merasa usahanya sia-sia. Ia lelah. Tapi belum bisa berhenti. Ia tahu, untuk saat ini, ia harus bertahan. Ia hanya bisa terus menulis, menjaga harapannya tetap hidup. Meski itu artinya ia harus tidur larut malam dan bangun dengan tubuh lelah keesokan harinya.
Tapi selama menulis bisa memberinya kekuatan, Ayla tidak akan menyerah.

No comments:

Post a Comment