[Sahur – Bayar Hutang Puasa]
Hari ini adalah hari libur. Tanggal merah di kalender. Tidak ada mengajar, tidak ada ke sekolah, tidak ada ke bimbel. Betapa bahagianya Ayla.
Pagi Kamis itu, Ayla memutuskan untuk berpuasa. Rasanya ini saat yang pas untuk membayar hutang puasanya di bulan Ramadhan. Walaupun hanya tersisa dua hari, Ayla ingin cepat-cepat melunasinya. Mumpung hari Kamis dan keluarganya terbiasa puasa sunnah Senin–Kamis, jadi kalau Ayla ikut puasa, bisa sekalian sahur bareng. Kalau puasa di hari lain, belum tentu bisa bangun sahur.
Pukul 04.00 dini hari, Ayla bangun dan bersahur. Menu sahurnya nasi dengan tongkol balado dan telur dadar. Penutupnya, pisang. Matanya masih berat karena semalam tidur agak larut. Untungnya hari ini libur, jadi bisa tidur lagi setelah sahur. Memang tidak sehat sih, tapi tubuhnya sudah terlalu capek dan rasanya hanya ingin tidur sepuasnya.
Selesai sholat subuh, Ayla langsung kembali ke kasur dan tak lama tertidur pulas.
[Bangun Tidur – Membereskan Lemari]
Pukul 08.30, Ayla bangun dengan tubuh yang terasa lebih enteng. Matanya mengerjap-ngerjap, menyesuaikan cahaya yang menyelinap dari jendela kamar. Pagi itu hawa panas menyerbu ruangan.
"Ugh, pagi ini kenapa panas sekali," gumamnya dalam hati.
Ayla turun dari tempat tidur, membuka pintu kamar, dan melangkah ke lantai bawah—karena kamarnya berada di lantai dua.
Biasanya bangun tidur langsung sarapan. Tapi karena sedang puasa, tentu saja tidak sarapan. Ia hanya ke toilet. Kedua orang tuanya sedang pergi ke rumah kerabat di luar kota.
Pagi itu tidak ada kegiatan berarti—meskipun seharusnya masih ada kerjaan menyusun raport, tapi Ayla masih malas. Akhirnya ia memilih untuk membereskan lemari. Baju-bajunya yang sudah disetrika menumpuk di keranjang selama dua minggu lebih. Ia pun mulai merapikan satu per satu sambil memutar lagu favoritnya lewat tape jadul milik papa. Meskipun hanya satu speaker yang nyala, suara dari tape itu masih gacor, bass-nya mantap, dan nggak ada suara kresek-kresek.
Karena jumlah pakaian yang dirapikan cukup banyak, Ayla baru selesai sekitar pukul 10. Setelah itu, rebahan kembali di kasur. Hari itu memang diniatkan untuk istirahat total. Tidak ingin ke mana-mana.
Hingga sekitar pukul 1 siang, Ayla akhirnya bangun dari kasur setelah puas rebahan dan scroll medsos selama hampir tiga jam. Setelah mandi dan sholat Dzuhur, Ayla kembali menatap layar laptopnya untuk mengisi raport anak-anak. Karena muridnya semakin banyak, jumlah raport yang harus diisi pun otomatis bertambah. Sebenarnya ada niat untuk lanjut mengoreksi ulangan, tapi waktu tidak mencukupi.
[Mencari Takjil untuk Berbuka Puasa]
Pukul 15.00, Ayla mengirim pesan ke adiknya. "Mau jajan nggak? Cari takjil buat buka puasa?" Adiknya bilang, "mau". Akhirnya mereka sepakat berangkat pukul setengah lima sore.
Sampai waktu itu, orang tua Ayla masih belum pulang, jadi ia dan adiknya berangkat sendiri. Ayla membawa motor dan adiknya membonceng. Tujuan pertama adalah membeli matcha ke sebuah kafe ternama dekat rumah. Matcha di sana memang enak, gulanya sedikit, rasa matcha-nya strong, lembut karena campuran susu, dan nggak kemanisan. Karena sedang batuk, Ayla memesan matcha hangat. Sementara sang adik memilih es.
Cuaca sore itu kurang bersahabat. Siang tadi panasnya menyengat, tapi mendekati pukul 4 hujan deras mengguyur. Saat jam 5 tiba, hanya gerimis yang tersisa. Ayla merasa pilihan membeli matcha hangat adalah keputusan terbaik.
Namun, pengalaman tidak menyenangkan sempat terjadi di parkiran. Motornya nyangkut di undakan kecil karena sempitnya area parkir dan tidak ada satu pun orang yang membantunya. Anehnya, ketika keluar dari kafe, tiba-tiba ada tukang parkir muncul dan menagih uang.
Ayla kesal. "Tadi waktu saya datang, abang ke mana?" tanyanya.
Tukang parkir itu hanya menunjuk ke teras ruko dan beralasan ia memang ada di situ. Tapi tetap saja, ketika Ayla kesulitan parkir, ia tidak membantu sedikit pun.
Dengan nada jengkel, Ayla bilang, "Tadi motor saya nyangkut di sini, nggak ada yang bantuin. Kok tiba-tiba ditarik uang parkir?"
Wajah si abang tampak kesal. Tapi Ayla tidak peduli. Ia tidak akan membayar orang yang hanya ingin gaji buta. Kalau memang niat jadi tukang parkir, seharusnya membantu, bukan hanya duduk diam.
Setelah itu, Ayla dan adiknya pergi dari tempat itu. Namun, kekesalan belum berhenti di situ. Ketika keluar dari ruko dan hendak menyeberang ke jalan besar, mereka terhalang mobil dan motor. Padahal seharusnya, saat lampu merah, pengendara lain memberi ruang bagi kendaraan dari gang keluar. Tapi tidak kali ini. Ayla pun membalas dengan klakson panjang dan ekspresi kesal—bahkan sempat menjulurkan lidah ke arah mobil milik seorang bapak-bapak.
"Katanya yang suka melanggar emak-emak. Tapi nyatanya, bapak-bapak bermobil juga sering seenaknya," pikirnya.
Setelah itu, mereka lanjut membeli jajanan buka puasa. Ayla membeli takoyaki, adiknya membeli batagor. Selesai jajan, mereka pulang. Ternyata papa dan mama sudah di rumah, tapi Ayla sudah izin sejak awal bahwa mereka akan keluar mencari takjil. Begitu tiba di rumah dan motor diparkir, adzan Maghrib berkumandang. Saatnya berbuka.
[Aktivitas Malam]
Usai berbuka dan menunaikan sholat Maghrib serta Isya, Ayla kembali melanjutkan isi raport yang belum selesai. Ditemani oleh Kak Cakka yang sedang lembur, mereka saling bercerita via telepon. Rasa kesalnya sore tadi pun perlahan menghilang. Obrolan dengan Kak Cakka memang selalu mampu memperbaiki suasana hati.
Sekitar pukul setengah 11 malam, Ayla menyudahi pekerjaan. Masih ada delapan murid lagi yang belum selesai raportnya, tapi ia memutuskan untuk menyicilnya besok di sekolah.
Kak Cakka pamit tidur lebih dulu—telepon tetap tersambung. Ayla menghela napas. Hari liburnya cukup padat, dan ia bahkan belum menulis cerita hari itu.
Tapi Ayla sudah komitmen. Semalam apapun dan secapek apapun, tetap harus menulis dan update blog. Ia pun meraih ponsel dan mulai mengetik. Cerita baru selesai sekitar pukul 12 malam. Namun, tubuhnya belum juga mengantuk. Ayla baru bisa tidur pukul 2 dini hari.
Padahal, pukul 5 subuh harus bangun lagi. Tidak ada kesempatan tidur siang sampai jam 5 sore nanti. Tapi Ayla tidak menyesal. Semua ini adalah bagian dari tanggung jawab dan komitmennya—terhadap tulisan dan terhadap dirinya sendiri.
Meskipun hari liburnya cukup padat, Ayla merasa bahagia. Setidaknya, tidak ada mengajar. Tidak ada anak-anak. Dan itu saja sudah cukup untuk membuatnya lega.
No comments:
Post a Comment