[Malming, Main Minecraft Bareng]
Malam itu, setelah selesai menulis cerita harian, Ayla memutuskan untuk tidak menyentuh pekerjaan dulu. Kepalanya terasa berat, dan ia tidak ingin menambah beban pikirannya. Ia butuh jeda. Maka, ia mengajak Kak Cakka bermain game online—cara sederhana mereka untuk kabur sejenak dari tekanan.
Ia membuka laptop, bukan untuk bekerja, tapi untuk menyambungkan WhatsApp lewat web. Sementara itu, game tetap dimainkan lewat HP. Ayla memang lebih nyaman begitu. Laptop terlalu ribet untuk dikontrol saat bermain, dan HP-nya tidak kuat dipakai multitasking. Jadilah perangkat dibagi tugas.
Game pilihan mereka adalah Minecraft. Sudah beberapa bulan belakangan ini mereka bermain bersama. Dunia Minecraft mereka berdua sudah lumayan berkembang: rumah kecil yang dibangun bersama, jalur rel kereta, aquascape buatan sendiri, hingga gerbang menuju Nether—meski keduanya belum cukup berani untuk benar-benar masuk ke sana. “Skill issue,” kata mereka sambil tertawa.
Kadang mereka bermain dalam mode creative untuk membangun, kadang beralih ke survival untuk bertarung dan eksplorasi. Malam itu berjalan tanpa terasa. Waktu berlalu cepat, dan pukul 22.30 mereka memutuskan untuk berhenti. Tapi seperti biasa, Ayla baru bisa tertidur sekitar pukul 23.30. Ia butuh waktu rebahan panjang sebelum pikirannya cukup tenang untuk tertidur.
[Tidur Sampai Siang]
Pagi-pagi buta, Ayla sempat bangun untuk sholat subuh. Tapi setelahnya, ia kembali tidur. Bukan pilihan terbaik memang, tapi tubuhnya masih belum siap beraktivitas. Mungkin begadang semalam bukan keputusan cerdas, tapi kalau bukan malam Minggu, kapan lagi ia bisa bermain tanpa beban?
Ia tidur nyenyak dan baru bangun lagi pukul 11.15. Tidak merasa bersalah—justru puas. Hari Minggu memang ruang bernapasnya. Begitu bangun, ia langsung menyantap bubur sumsum hangat. Manis dan lembut, pas untuk mengawali siang. Setelah itu, ia mulai mengerjakan soal ujian untuk kelas empat. Untungnya, soal kali ini tidak terlalu sulit. Sudah ada template, dan materinya juga sesuai. Tak butuh waktu lama, soal selesai dalam waktu kurang dari satu jam.
Setelahnya, Ayla kembali ke mode rebahan. Tapi di sela-sela santai itu, pikirannya melayang. Ia ingin keluar sore ini. Tapi kemana? Ke salon? Ke toko buku bekas?
Sambil mandi dan makan siang, ia mempertimbangkan pilihannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk ke toko buku bekas. Ia ingin jalan-jalan tanpa harus menyetir sendiri, jadi ia memesan ojek online. Sedikit lebih mahal, tapi hari ini ia ingin duduk manis dan menikmati jalanan.
[Healing, Jalan-Jalan]
Pukul 15.30, Ayla berangkat. Dalam bayangannya, toko buku itu akan dipenuhi deretan buku klasik, aroma kertas tua, dan suasana tenang. Tapi kenyataannya tak seindah ekspektasi. Rak-raknya dipenuhi buku-buku tak dikenal. Judul-judul yang asing dan kurang menggugah. Setelah berkeliling hampir satu jam, ia memutuskan untuk pulang.
Namun saat sedang dalam perjalanan pulang, keluarganya tiba-tiba memberi kabar akan menyusulnya. Ayla meminta bertemu saja di mall terdekat. Ia lalu memberitahu pengemudi ojek bahwa tujuannya berubah. Untungnya, rutenya masih searah dan sang pengemudi bersedia.
Akhirnya, Ayla sampai di mall. Karena keluarganya belum juga datang, ia memutuskan untuk mampir ke toko buku di dalam mall—bukan seperti toko buku bekas yang ia kunjungi sebelumnya. Niat awalnya hanya ingin melihat-lihat, tapi dua buku menarik justru berhasil membujuknya untuk dibawa pulang. Ayla hanya bisa tersenyum geli pada dirinya sendiri, lalu melangkah ringan ke kasir. “Oke deh, gas bayar,” batinnya.
Tak lama setelah keluar dari toko, keluarganya datang. Mereka janjian bertemu di masjid dekat mall sekalian sholat maghrib. Setelah sholat maghrib, Ayla memutuskan untuk duduk sebentar sambil menulis cerita hari ini di ponselnya.
Hari Minggu itu berjalan santai. Tidak ada teriakan anak-anak, tidak ada pekerjaan yang menumpuk, tidak ada tekanan dari dunia luar. Dan untuk hari ini, Ayla merasa cukup. Ia merasa tenang.
Hari itu sederhana, tapi hatinya bahagia.
No comments:
Post a Comment